Keluarga kecil itupun akhirnya berbuka dengan segelas air putih. Sebenarnya mereka memiliki tiga takar gandum mentah, upah dari memintal bulu domba. Saat berbuka hari pertama, ketika keluarga kecil itu berkumpul dengan dua putranya yang masih bocah, ketika secuil roti hendak dinikmati bersama, pintu rumah mereka diketuk orang.
“Aku saudara muslim kalian. Aku sangat lapar. Berilah aku makan seperti yang kalian makan. Semoga Allah memberi kalian hidangan di surga,” pinta orang asing.
Tanpa pikir panjang laki-laki kepala rumah tangga itu bergegas menyerahkan semua roti jatah berbuka puasa. Kepada istri dan anak-anaknya dikatakan, kita berbuka dengan segelas air putih.
Hari kedua keluarga kecil masih memiliki dua takar gandum. Dimasaknya satu takar untuk berbuka bersama. Mereka sudah siap berbuka dengan secuil roti. Terdengar pintu rumah diketuk. Di depan pintu berdiri bocah yatim.
”Saya lapar. Secuil roti itu bolehkah saya makan?” tanya sang bocah.
Untuk yang kedua kalinya laki-laki kepala rumah tangga itu menyerahkan begitu saja roti mereka. Berbuka hari ini dan sahur puasa esok hari cukuplah minum air putih.
Puasa hari ketiga dengan perut yang teramat lapar mereka hendak berbuka dengan sisa gandum yang dimilikinya. Dua anak laki-laki mereka yang turut berpuasa sejak hari pertama terlihat pucat dan lesu. Dua hari belum makan secuil pun, hanya air putih untuk pengisi perut.
Selalu saja ada yang hadir di saat keluarga kecil hendak berbuka. Kali ini seorang muslim bekas tawanan perang yang baru saja dibebaskan. Ia mendatangi keluarga kecil itu hendak meminta makanan.
”Aku tawanan perang yang baru dibebaskan. Berhari-hari aku belum makan.”
Entah apa yang ada di benak laki-laki kepala rumah tangga itu. Agaknya ia mafhum dengan apa yang dikatakan orang asing depan pintu. Begitu pula dengan istrinya, setali tiga uang.
”Kita tidak mempunyai sisa gandum lagi. Anak-anakku sudah sangat lapar. Ya Allah, selamatkanlah anak-anakku dari bencana kelaparan,” kata sang istri seraya menyerahkan bungkusan roti kepada orang asing di depan pintu.
Laki-laki kepala rumah tangga itu adalah sahabat sekaligus menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib Al-Murtadlo. Istrinya adalah putri kinasih Rasulullah, Siti Fatimah. Dua bocah kecil berwajah pucat yang belum makan selama tiga hari itu adalah Hasan dan Husain.
Keesokan harinya Ali bin Abi Thalib bersama Hasan dan Husain menemui Rasulullah Saw. Alangkah kaget Rasulullah menujumpai menantu dan kedua cucunya berwajah pucat dengan badan gemetar. Sayyidina Ali pun menceritakan bagaimana keadaan keluarganya selama tiga hari yang berbuka puasa hanya dengan segelas air.
Bersama para sahabat Rasulullah bergegas menuju rumah Siti Fatimah. Dijumpainya sang putri sedang munajat di mihrabnya. Fatimah menyambut ayahnya dengan berjalan sempoyongan, badan gemetaran. Mata Rasulullah berkaca-kaca dan pipi beliau basah oleh air mata. Dipeluknya Fatimah sambil bersabda, ”Ya Allah, tolonglah Ahlul-Bait rasul-Mu yang hampir mati kelaparan.”
Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Qur’an, “Mereka menunaikan nazar dan takut akan hari yang azab siksanya merata dimana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, serta orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan ridlo Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insaan: 7-9).
Sungguh mengagumkan akhlak keluarga kecil Ali bin Abi Thalib Ra, Mereka rela bersusah-susah menolong orang lain dengan cara memberikan sesuatu yang mereka sendiri sedang membutuhkannya. Kita bisa meneladani kisah keluarga Ali bin Thalib di keluarga kita dengan menanamkan pada anak sikap ringan tangan membantu orang lain.
Beberapa langkah berikut semoga bisa memandu kita menanamkan pada anak sikap suka menolong dan bersedekah:
1. Membacakan cerita, kisah, hikmah kemuliaan membantu orang lain
Ada banyak kisah, teladan, hikmah tentang sedekah atau membantu orang lain yang bisa kita ceritakan pada anak. Kisah dan teladan terbaik adalah Rasulullah Muhammad Saw dan para sahabatnya. Bercerita pada anak tentang tokoh yang gemar menafkahkan hartanya bagaikan menebar benih kebaikan di ladang fitrah sosialnya.
2. Memberi teladan
Sambil terus menebar benih adab yang baik melalui cerita, kita memupuknya dengan teladan nyata bahwa ayah ibunya gemar membantu atau bersedekah pada orang lain.
3. Merancang kegiatan berbagi
Pada kesempatan tertentu, anak diajak menyusun kegiatan berbagi. Buatlah diskusi ringan misalnya, siapa orang terdekat yang sedang membutuhkan bantuan? Apa bantuan yang bisa kita berikan? Bagaimana cara memperoleh atau mengumpulkan bantuan yang sedang dibutuhkan? Kita bisa mendiskusikan semua itu dengan mengikuti tahap berpikir dan psikologi anak. Tidak kalah penting adalah apapun ide dan gagasan anak kita harus menghargainya dengan tulus.
4. Menentukan kapan kegiatan berbagi dikerjakan
Ambil momentum yang tepat untuk menjalankan kegiatan berbagi, misalnya saat bulan Ramadhan, hari ulang tahun, atau liburan sekolah. Kapanpun kegiatan berbagi dikerjakan, kita perlu menjelaskan pada anak mengapa kita memilih waktu tersebut. Misalnya, waktu bersedekah yang paling utama adalah bulan Ramadhan.
5. Mengerjakan kegiatan berbagi dengan hati gembira
Saatnya anak diajak menjalankan program berbagi yang telah dirancang sebelumnya. Memberi kesempatan pada anak menyerahkan langsung bantuan pada orang yang membutuhkan merupakan pengalaman berharga yang akan selalu dia kenang. Ajak anak bersyukur dan berbahagia saat berbagi dengan orang lain.
6. Menulis pengalaman kegiatan berbagi
Ketika kegiatan berbagi tuntas dikerjakan, mintalah anak bercerita tentang kebahagiaan membantu orang lain. Selain meminta anak bercerita kita bisa mengajak anak menuliskan pengalamannya. Keuntungannya adalah ia akan terlatih merekonstruksi pengalaman dalam struktur berpikir yang tertuang dalam barisan-barisan kalimat.
Orang paling berkualitas adalah orang yang paling bermanfaat pada orang lain. Semoga karakter baik ini – salah satunya gemar membantu dan bersedekah pada orang lain – menjadi perilaku anak kita. Amin.
Sumber : ummi-online
0 Response to "Meneladani Ketabahan Keluarga Ali bin Abi Thalib Ra, Diuji Bencana Kelaparan"
Post a Comment